Senin, 21 September 2015

asal usul gelar Haji di Indonesia


BUDAYA GELAR HAJI DI NUSANTARA

Berbarengan dengan meningkatnya ekonomi masyarakat, semakin banyak kita saksikan umat Islam Indonesia yang melaksanakan ibadah haji. Karena itu, ada baiknya kita diskusikan terlebih dahulu apa itu haji, dan apa makna ibadah haji. Haji dalam bahasa Arab berarti berziarah, mengunjungi. Berasal dari kata hajja, yang ism fa’ilnya (pelakunya) disebut dengan haajjun, bentuk pluralnya hujjaaj, yang artinya adalah orang-orang yang menziarahi, yang mengunjungi.

Apa yang diziarahi, dikunjungi, tidak lain adalah monumen-monumen Allah, yang dalam bahasa al-Qur’an sya’aa-iruLLah (lihat al-Baqarah/2:158), di antaranya adalah Ka’bah, Shafa dan Marwah, Arafah, Mina, Muzdalifah, dan lain sebagainya. Semua monumen-monumen tersebut merupakan tanda-tanda dari ketakwaan hati.

Jauh di belakang tanda yang tertinggal, ada sejarah tentang ketaqwaan jiwa anak manusia. Misalnya Shafa dan Marwah, ini adalah tempat di mana Hajar, isteri Nabi Ibrahim megalami kehausan yang tiada tara akibat ketiadaan air. Begitu juga dengan Arafah, Mina, dan Muzdalifah, semua ada sejarahnya.

Jadi sebenarnya, kewajiban mengunjungi Makkah, di samping dalam rangka ibadah, juga dalam upaya menggali kesan yang ditinggalkan orang-orang yang dekat dengan Allah. Dengan begitu diharapkan, orang-orang yang berhaji mendapatkan kesan yang mendalam akan ketaqwaan, yang kemudian berimplikasi pada perbuatan keseharian. Inilah kiranya makna dari ibadah haji ke baituLLah.

Sebagaimana disebutkan, secara kebahasaan, haji berarti menziarahi, mengunjungi. Jadi tepatnya istilah ini digunakan untuk orang yang mau beribadah haji, bukan untuk mereka yang telah selesai melaksanakannya. Ketika seseorang pulang dari ibadah haji, sebenarnya sematan haji bagi dirinya sudah tuntas, karena dia tidak lagi berada dalam proses berziarah.

Sebaliknya di Indonesia, gelar tersebut masih tetap melekat. Orang-orang yang telah selesai melaksanakan ibadah haji, mendapat gelar tambahan di depan namanya dengan sebutan haji (untuk laki-laki) dan hajjah (untuk perempuan). Banyak orang memandang hal itu tidak baik, karena bisa menimbulkan sikap riya, pamer, sehingga bisa berbahaya bagi nilai ibadahnya di hadapan Allah.

Terkesan lucu memang, dari sekian banyak negara, hanya orang-orang Indonesia dan Malaysia saja yang menambahkan gelar haji di depan namanya. Namun jika kita melihatnya dari sudut pandang sejarah, terasa dapat dipahamilah mengapa orang-orang Indonesia mengenakan gelar haji di depan namanya.

Alasan lain pemakaian gelar haji bagi mereka yang kembali pulang adalah, karena susahnya menempuh perjalanan pulang pergi Indonesia-Makkah, sehingga agar kesan itu tidak hilang, maka dipakailah gelar haji sebagai tanda perjuangan ibadah. Penambahan gelar ini tentu sangat dapat dimaklumi.

Haji, sebagai ibadah yang berulang, sebagaimana terlihat dari kata Idul Adha, yang berarti kembali berkorban secara akumulatif menjadi suatu tradisi. Karena di samping kata Id yang berarti berulang, ia juga bisa menjadi adat, kebiasaan (bhs. Arab ‘Aadah). Begitu juga dengan gelar haji, ia berkembang secara evolutif, tanpa disadari, sehingga menjadi semacam tradisi.

Tidak mudah untuk menyalahkan, apalagi memandangnya sebagai sesuatu yang bid’ah, karena harus didudukkan dulu posisinya, apakah penambahan gelar haji di depan nama itu merupakan suatu ibadah, ataukah hanya sekedar budaya?

Mengenal Asal Usul Gelar Haji di Indonesia.

Dahulu di zaman penjajahan Belanda, Belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat izin dari pihak pemerintah Belanda. Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan menimbulkan pemberontakan, karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini juga diberlakukan terhadap ibadah haji. Bahkan untuk yang satu ini Belanda sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika ia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan perubahan.

Contohnya adalah Pangeran Diponegoro yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Imam Bonjol yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan pasukan Paderinya. Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam. Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.

Di Kepulauan Seribu, di Pulau Onrust dan Pulau Khayangan (sekarang Pulau Cipir), orang-orang yang pulang haji, banyak yang di karantina di sana. Ada yang memang untuk dirawat dan diobati karena sakit akibat jauhnya perjalanan naik kapal, dan ada juga yang disuntik mati kalau dipandang mencurigakan. Karena itu gelar haji menjadi semacam cap yang memudahkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi mereka yang dipulangkan ke kampung halaman.

Problematika haji Indonesia

Memakai Gelar HajiOrang Islam Indonesia pada umumnya jika selesai menunaikan Ibadah Haji, maka sering di panggil Pak Haji Fulan atau Ibu Hajah Fulanah, bahkan ada sebagian orang yang dengan sengaja menambahkan gelar Haji di depan namanya untuk penulisan dalam dokumen atau surat-surat penting dengan berbagai alasan, diantaranya ada yang mengatakan itu merupakan Syiar, supaya orang tertarik untuk segera mengikuti menunaikan ibadah haji, ada pula yg beralasan bahwa Ibadah Haji adalah Ibadah yang besar dan memerlukan biaya besar jadi orang tersebut merasa rugi kalau namanya tidak memakai gelar Haji/Hajah, atau jaman dulu masih sedikit orang yang mampu (dalam hal materi) mengeluarkan biaya untuk menunaikan Ibadah haji, sehingga jarang sekali orang yang bisa melaksanakan haji, maka jika pada suatu desa atau kampung ada orang Islam yang menunaikan Haji dan di kampungnya atau desanya hanya dia satu-satunya yang pernah menunaikan Haji, maka jika di kampung/desa itu di sebutkan Pak Haji (tanpa menyebut nama aslinya) maka sekampung/sedesa pasti tahu siapalah orang yang di maksud Pak Haji itu.
Padahal Ibadah Haji itu tidak berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain seperti : - Sahadat - Sholat - Puasa - Zakat – Haji

Ternyata Ibadah Haji itu merupakan salah satu dari rukun Islam yang diwajibkan Allah. Jadi jika ada orang menunaikan Haji terus namanya harus di tambahkan Haji, kalau begitu alasannya semestinya jika dia menunaikan ibadah-badah yang lain juga di tambahkan ke dalam namanya, seperti Zakat, puasa, Sholat dan Sahadat (mengapa cuma haji ??? yang dipakai sebagai gelar).

Adakah Rasulullah memakai gelar Haji, pernahkan anda dengar sahabat menggunakan gelar Haji juga (misal: Haji Nabi Muhammad SAW.; atau para sahabatnya Haji Umar Bin Khotob; Haji Abu Bakar; Haji Usman Bin Afan;Haji Ali Bin Abitholib), padahal beliau beberapa kali menunaikan Ibadah Haji.

Menjadi seseorang dengan predikat Haji / Hajjahtidaklah mudah & memiliki beban moral yang harus diselaraskan dengan julukan atau gelar yang mereka sandang mau tidak mau.Karena bagi masyarakat kita secara keseluruhan, mendapatkan gelar Haji itu tidak semudah kita mendapatkan gelar dokter & sarjana seperti dibangku pendidikan yang bisa didapatkan dalam jangka waktu 3-5tahun.

Dan bisa dikatakan seorang yang menyandang gelar Haji / Hajjah, lebih dihargai & dihormati dibanding mereka atau bahkan kita semua yang mendapat nilai cumlaude bangku kuliah.Karena beban moral, yang dipertanggung jawabkan oleh seorang yang bergelar Haji / Hajjah bukan hanya selama didunia melainkan ketika di akhirat juga & menjadi suri tauladan atau panutan dasar bagi lingkungan disekitarnya. 

Walaupun tidak semua, dari mereka yang mendapatkan gelar Haji / Hajjah mampu & bisa menerapkan perilaku yang baik & bermanfaat.Dan tidak jarang, banyak dari mereka yang terpeleset dari amanah atau gelar yang mereka sandang dari Tuhan & masyarakat sekitar karena banyak godaan & nafsu yang berjalan lurus dengan amal baik mereka. 

Oleh karena itu, bisa dikatakan menjadi seorang Haji / Hajjah yang amanah tidak cukup dengan bermodal uang 50juta saja lalu pergi ke Arab.Tapi bagaimana semua kepercayaan Tuhan yang diberikan kepada kita, bisa diaplikasikan baik & berdampak baik hasilnya bagi semua mahluk hidup didunia ini bukan hanya kepada sesama manusia saja. 

Gelar haji kadang menjadi problem tersendiri di masyarakat. Karena ia menjadi suatu tradisi, tanpa dikehendaki si penyandang, kadang gelar itu disandangkan sendiri oleh masyarakat. Sebaliknya, ada juga orang yang merasa gelar itu semacam kehormatan, sehingga ketika orang lupa membubuhkan gelar haji di depan namanya, merajuk dan jengkellah hatinya.

Kesimpulan.

Kalau melihat fakta-fakta seperti ini, rasanya gelar haji sudah tidak relevan lagi saat ini, biarkan saja nanti Allah SWT yang memberikan gelar haji mabrur kepada kita yang telah menunaikan ibadah haji, karena kita harus ingat niat pertama kita beribadah haji bukanlah untuk gelar, identitas diri, namun sebagai wujud nyata ketaatan kita kepada perintah Allah SWT. 

Haji / Hajjah itu bukan sebuah mata pencaharian atau profesi, tapi haji itu sebuah bentuk pengabdian kita kepada Tuhan & semua mahluk hidup disekeliling kita.biarlah gelar haji menjadi kekayaan budaya yang unik di Indonesia, karena ia juga merupakan tradisi yang tidak disengaja sebelumnya. Adapun masalah implikasi gelar itu bagi keriyaan seseorang, biarlah menjadi tanggungan dirinya di hadapan Allah.Bukankah riya itu dipicu oleh berbagai macam kemungkinan. Lantas mengapa kita menjadi susah dengan gelar haji yang hanya merupakan satu dari banyak kemungkinan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Forensik FK Unsoed 2024