Senin, 30 November 2015

Bolehkah Poligami?


Hasil "Bahtsul Masail" di Pondok Pesantren Al Falah, Ploso, Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang diikuti para santri dari sejumlah pesantren di Jawa dan Madura pada 19-20 Mei 2010 merekomendasikan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang didalamnya mengatur sanksi pidana bagi pelaku nikah siri dan poligami tak wajib dipatuhi.

Mengacu referensi yang bersumber dari Al-Quran, hadis, dan sejumlah kitab kuning karya ulama salaf, dia menjelaskan, agama tidak mengatur kewajiban mencatatkan pernikahan kepada pemerintah.

"Para peserta Bahtsul Masail bersepakat bahwa bagi seorang pria dan wanita yang usianya sudah mencukupi, wajib menyegerakan nikah untuk menghindari perbuatan dosa. Mengingat sekarang ini banyak orang tidak mampu mengeluarkan biaya nikah, apalagi mereka yang tinggal di perdesaan, maka nikah siri menjadi jalan keluar," katanya seraya menyatakan agama membolehkan  pria berpoligami.

"Agama juga tidak mengatur kewajiban bersikap adil dalam hal kasih sayang karena tidak bisa diukur dengan takaran tertentu. Berbeda dengan nafkah lahir, memang mutlak diperlukan bagi orang yang berpoligami," katanya.

Oleh sebab itu, dia menganggap, draft sanksi dalam RUU itu tentang hukuman selama enam bulan hingga tiga tahun maupun denda Rp6-12 juta sebagaimana ada dalam Pasal 142 Ayat 3, maka itu akan sia-sia selama pemerintah tidak mengubah sistem pencatatan nikah.

"Seharusnya yang dilakukan pemerintah saat ini adalah mempermudah `itsbat` (pencatatan) nikah dan menghilangkan pasal wajib mendapatkan izin tertulis dari istri pertama bagi seorang pria yang hendak berpoligami," katanya.

Masalah nikah siri, tambah dia, tidak hanya berasal dari niat seorang pria, melainkan juga dari seorang perempuan karena perbandingan populasi pria dan wanita.

Mahsus merasa khawatir pemberlakuan undang-undang tersebut justru menjadi bumerang bagi pemerintah karena akan terjadi pelanggaran secara massal.

Bahstul Masail di Pondok Pesantren Al Falah itu diikuti sekitar 200 santri dari 140 lembaga pondok pesantren yang tersebar di Pulau Jawa dan Pulau Madura.

Syarat Poligami:
Syaikh Mustafa Al-Adawiy, Beliau menyebutkan bahwa hukum poligami adalah sunnah. Dalam kitabnya ahkamun nikah waz zafaf, beliau mempersyaratkan 4 hal:

1- Seorang yang mampu berbuat adil

Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil di antara para istrinya. Tidak boleh ia condong kepada salah satu istrinya. Hal ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa-i, At-Tirmidzi)
Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas. Karena boleh jadi salah satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam di rumahnya, padahal malam itu adalah jatah bermalam di tempat istri yang lain. Maka ia harus tegas menolak rayuan salah satu istrinya untuk tetap bermalam di rumahnya.
Jadi, jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka cukup satu istri saja. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…kemudian jika kamu khawatir tidak mampu berbuat adil, maka nikahilah satu orang saja…” (QS. An-Nisa: 3)

2- Aman dari lalai beribadah kepada Allah

Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam melakukan poligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. At-Taghabun: 14)

3- Mampu menjaga para istrinya

Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika seseorang berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam keburukan dan kerusakan.
Misalnya seorang yang memiliki tiga orang istri, namun ia hanya mampu memenuhi kebutuhan biologis untuk dua orang istrinya saja. Sehingga ia menelantarkan istrinya yang lain. Dan hal ini adalah sebuah kezhaliman terhadap hak istri. Dampak yang paling parah terjadi, istrinya akan mencari kepuasan kepada selain suaminya, alias berzina. Wal iyyadzubillah!
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang memiliki kemapuan untuk menikah, maka menikahlah…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4- Mampu memberi nafkah lahir

Hal ini sangat jelas, karena seorang yang berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir para istrinya. Bagaimana ia ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup? Orang semacam ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 33)
Demikian tulisan singkat tentang poligami. Poligami adalah syariat mulia yang bisa bernilai ibadah. Namun untuk melaksanakan syariat tersebut membutuhkan ilmu, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Jika anda merasa tidak mampu memenuhi 4 syarat di atas, maka jangan coba-coba untuk berpoligami.

Jumat, 06 November 2015

Pakai Kopyah, Sorban, Rida' itu sunnah hukumnya.


Memakai sorban adalah sunnah dan ciri khas kaum muslimin, baik dalam sholat maupun di luar sholat, sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits. Namun, tak ada satu hadits pun yang menjelaskan keutamaan tertentu memakai sorban saat sholat, kecuali hadits berikut:

"Sholat dua raka’at dengan memakai sorban lebih baik dibandingkan sholat 70 raka’at, tanpa sorban". [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus sebagaimana yang disebutkan oleh As-Suyuthiy dalam Al-Jami' Ash-Shoghir]

Sholat bukanlah permainan, tapi ia adalah tanda ketundukan, keseriusan, ketawadhuan, dan kerendahan diri di hadapan Allah -Azza wa Jalla-. Seyogyanya seorang hamba saat ia menghadap, ia mengenakan pakaian yang layak digunakan; jangan asal-asalan dalam melaksanakan sholat !! Pilihlah pakaian yang layak, sebab sebagian orang ada yang tidak memperhatikan pakaian dan kondisi dirinya, seperti ia masuk ke dalam sholat, tanpa mengenakan penutup kepala, semisal surban, songkok, dan lainnya. Seakan-akan ia adalah seorang pekerja kuli yang mengenakan pakaian seadanya, padahal ia menghadap Allah Robbul Alamin.....Allah -Ta’ala- berfirman:

"Hai anak Adam, pakailah perhiasan kalian di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al-A’raaf: 31).

Al-Imam Isma’il bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, "Berdasarkan ayat ini dan hadits yang semakna dengannya dari Sunnah, maka dianjurkan berhias ketika hendak sholat, terlebih lagi di hari Jum’at, hari ied, dan juga (dianjurkan) menggunakan minyak wangi, karena ia termasuk perhiasan, serta (menggunakan) siwak, karena ia kesempurnaan hal itu. Diantara pakaian yang paling utama adalah pakaian putih". [dalam Tafsir Ibnu Katsir (2/281)]

Diantara perhiasan seorang mukmin adalah penutup kepala, seperti songkok, dan imamah (Sorban). Kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan para sahabatnya, baik dalam sholat, maupun di luar sholat, mereka senantiasa mengenakan imamah Sorban), burnus (penutup kepala yang bersambung dengan pakaian), atau songkok. Adapun kebiasaan menelanjangi kepala, tanpa songkok atau surban, maka ini adalah kebiasaan orang di luar Islam.

Amr bin Huroits -radhiyallahu ‘anhu- berkata, أَ

"Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam". [HR. Muslim (1359), Abu Dawud (4077), Ibnu Majah (1104 & 3584)]
Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,

"Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150) , Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (1566)]
Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata,

"Aku lihat pada Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)]

Jadi, disunnahkan bagi setiap orang yang mau melaksanakan shalat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling sempurna. Di antara kesempurnaan busana shalat adalah dengan memakai imamah (sorban), songkok, atau lainnya yang biasa dikenakan di kepala ketika beribadah, kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita, bukan untuk kaum pria. Namun tentunya jangan dijadikan kebiasaan buruk seorang masuk ke dalam sholat ataupun di luar sholat tanpa mengenakan sorban atau songkok.

Seorang yang tidak memakai penutup kepala -tanpa udzur-, maka makruh hukumnya. Terlebih lagi ketika melakukan shalat fardhu, dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya secara berjamaah. [Dalam As-Sunan wal Mubtadaat (hal. 69) karya Asy-Syuqoiriy].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, "Menurut hematku, sesungguhnya shalat dengan tidak memakai tutup kepala hukumnya adalah makruh. Karena merupakan sesuatu yang sangat disunnahkan jika seorang muslim melakukan shalat dengan memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits: "Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." (Permulaan hadits di atas adalah:

"Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." [HR Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma'aani Al-Atsar (1/221), Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi As-Sunan Al-Kubra (2/236) juga disebutkan dalamAl-Majma' Az-Zawa'id (2/51). dan As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1369]

Syaikh Al-Albaniy berkata lagi, "Tidak memakai tutup kepala bukan kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama , baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengerjakan kebiasaan buruk ini ; namun sayangnya malah diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengenyampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus sangat halus yang tidak pantas untuk merusak tradisi umat islam dan juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup kepala.

Adapun argumentasi yang membolehkan membiarkan kepala tanpa tutup seperti yang dikemukakan oleh sebagian orang dari Jama’ah Anshorus Sunnah di Mesir adalah dengan mengkiaskannya kepada busana orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini adalah usaha kias terburuk yang mereka lakukan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syi’ar dalam agama dan termasuk dalam manasik, yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya.
Seandainya kias yang mereka lakukan itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang mengatakan tentang kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji. [dalam Tamamul Minnah fit Ta'liq 'ala Fiqhis Sunnah (hal. 164-165)].

Tidak pernah disebutkan dalam sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak memakai tutup kepala ketika shalat kecuali hanya ketika ihram. Barangsiapa yang menyangka beliau pernah tidak memakai imamah (sorban) ketika shalat -selain pada saat melakukan ihram-, maka dia harus bisa menunjukkan dalilnya . [dalam Ad-Dinul Khalish (3/214) dan Al-Ajwibah An-Nafi'ah an Al-Masa'il Al-Waqi'ah (hal.110)]

Yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa shalat tanpa mengenakan tutup kepala hukumnya adalah makruh. Sholat tidak batal sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baghawi dan mayoritas ulama lain. Namun jangan disangka kalau hukum sekedar makruh, oh boleh dengan bebas tidak pakai tutup kepala, tidak demikian !! Karena ini bukan kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat. [Lihat Al-Majmu’ (2/51).

Saudarku yang kumuliakan.
Sorban (Imamah) atau penutup kepala adalah sunnah Rasulullah SAW, ... Rasulullah SAW bersabda : Perbedaan antara kita dengan musyrikin adalah Imamah diatas kopyah / peci (dalam Mustadrak ala shahihain hadits no.5903).

maksudnya bahwa muslimin mempunyai ciri khas yg tak dimiliki orang2 musyrikin, yaitu sorban yg dilipatkan pada peci. maka jelaslah bahwa Rasulullah SAW sangat menginginkan ummatnya memakai ini.

bila seseorang bertanya mengapa anda menggunakan sorban, katakan padanya karena sunnah, dan sunnah sudah mulai asing di hadapan muslimin sendiri, maka wajib kita mengenalkannya pada masyarakat,

jangan tertipu dengan ucapan kamu belum pantas pakai sorban!, ini ucapan orang yg menentang sunnah, orang yg belum pantas pakai sorban hanyalah orang non muslim, dan semua muslim sudah pantas pakai sorban, bila belum mau maka tak apa.

Selasa, 03 November 2015

Pengurus PBNU Periode 2015-2020


MUSTASYAR

K.H. Maemun Zubair
Dr. K.H. Ahmad Mustofa Bisri
K.H. Nawawi Abdul Jalil
K.H. Abdul Muchit Muzadi
Prof. Dr. K.H. M. Tholhah Hasan
K.H. Dimyati Rois
K.H. Makhtum Hannan
K.H. Muhtadi Dimyathi
AGH Sanusi Baco
TGH Turmudzi Badruddin (NTB)
K.H. Zaenuddin Djazuli
K.H. Abdurrahman Musthafa (NTT)
K.H. M. Anwar Manshur
K.H. Habib Luthfi bin Yahya
K.H. Sya’roni Ahmadi
K.H. Ahmad Syatibi
K.H. Syukri Unus
Dr. H. M. Jusuf Kalla
Prof. Dr. Chotibul Umam
Prof. Dr. Tengku H. Muslim Ibrahim
K.H. Hasbullah Badawi
K.H. Hasyim Wahid
K.H. Thohir Syarqawi Pinrang
K.H. Hamdan Kholid
K.H. Saifuddin Amsir
K.H. Zubair Muntashor
K.H. Ahmad Basyir
K.H. Ahmad Shodiq
K.H. Mahfud Ridwan
Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, MA
Prof. Dr. H. Machasin, MA
K.H. Adib Rofiuddin Izza
Habib Zein bin Smith
Dr. Ir. H. Awang Faroeq Ishaq

PENGURUS HARIAN SYURIYAH

Rais Aam  : Dr. K.H. Ma’ruf Amin
Wakil Rais Aam : K.H. Miftahul Akhyar
Rais : K.H. Mas Subadar
Rais : K.H. Nurul Huda Djazuli
Rais : K.H. Masdar Farid Mas’udi, M.A.
Rais : K.H. Ahmad Ishomuddin, M.Ag.
Rais : K.H. AR Ibnu Ubaidillah Syatori
Rais : K.H. Dimyati Romli
Rais : K.H. Abdullah Kafabihi Mahrus
Rais : K.H. Khalilurrahman
Rais : K.H. Syarifudin Abdul Ghani
Rais : K.H. Ali Akbar Marbun
Rais : K.H. Subhan Makmun
Rais : K.H. M. Mustofa Aqil Siroj
Rais : K.H. Cholil As’ad Samsul Arifin
Rais : K.H. Idris Hamid
Rais : K.H. Akhmad Said Asrori
Rais : K.H. Abdul Hakim
Rais : Dr. K.H. Zakki Mubarok
Rais : Prof. Dr. Maskuri Abdillah
Rais : K.H. Najib Abdul Qadir

Katib Aam : K.H. Yahya Cholil Staquf 
Katib  : K.H. Mujib Qulyubi
Katib  : Drs. K.H. Shalahuddin al-Ayyubi, M.Si
Katib  : Dr. K.H. Abdul Ghafur Maemun
Katib  : K.H. Zulfa Mustahafa
Katib  : Dr. H. Asrorun Niam Shaleh
Katib  : K.H. Acep Adang Ruchiyat
Katib  : K.H. Lukman Hakim Haris
Katib  : K.H. Taufiqurrahman Yasin
Katib  : K.H. Abdussalam Shohib
Katib  : K.H. Zamzami Amin
Katib  : Dr. H. Sa’dullah Affandy
A’WAN

K.H. Abun Bunyamin Ruchiat
Drs. K.H. Cholid Mawardi
K.H. TK Bagindo M Letter
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Lubis
K.H. Mukhtar Royani
K.H. Abdullah Syarwani, S.H.
K.H. Eep Nuruddin, M.Pdi.
Drs. K.H. Nuruddin Abdurrahman, S.H.
K.H. Ulinnuha Arwani
K.H. Abdul Aziz Khayr Afandi
H. Fauzi Nur
Dr. K.H. Hilmi Muhammadiyah, M.Si
K.H. Maulana Kamal Yusuf
K.H. Ahmad Bagja
KH. Muadz Thohir
K.H. Maimun Ali
H. Imam Mudzakir
H. Ahmad Ridlwan
Drs. H. Taher Hasan
Dra. Hj. Sinta Nuriyah, M.Hum
Dra. Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid
Ny. Hj. Nafisah Sahal Mahfudh
Prof. Dr. Hj. Chuzaimah T. Yanggo
Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, M.A.
Prof. Dr. Hj. Ibtisyaroh, S.H., M.M.
Dr. Hj. Sri Mulyati

PENGURUS HARIAN TANFIDZIYAH

Ketua Umum Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M.A.
Wakil Ketua Umum : Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.

Ketua :

Drs. H. Saifullah Yusuf
Dr. H. Marsudi Syuhud
Prof. Dr. M. Nuh, DEA
Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum Machfoedz, M.Sc.
Drs. K.H. Abbas Muin, Lc
Drs. H. M. Imam Aziz
Drs. H. Farid Wajdi, M.Pd
Dr. H. Muh. Salim Al-Jufri, M.Sos.I
K.H. Hasib Wahab
Dr. H. Hanief Saha Ghafur
K.H. Abdul Manan Ghani
K.H. Aizzuddin Abdurrahman, S.H.
H. Nusron Wahid, S.E., M.SE
Dr. H. Eman Suryaman
Robikin Emhas, SH, M.H
Ir. H. M. Iqbal Sullam
H. M. Sulton Fatoni, M.Si.

Sekretaris Jenderal  : Dr (HC). Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini

Wakil Sekretaris Jenderal :

H. Andi Najmi Fuaidi
dr. H. Syahrizal Syarif, MPH., Ph.D
Drs. H. Masduki Baidlowi
Drs. H. Abdul Mun’im DZ
Ishfah Abidal Aziz, SHI
H. Imam Pituduh, SH., MH.
Ir. Suwadi D. Pranoto
H. Ulil A. Hadrawi, M.Hum
H. Muhammad Said Aqil
Sultonul Huda, M.Si.
Dr. Aqil Irham
Heri Haryanto

Bendahara Umum : Dr.–Ing H. Bina Suhendra

Bendahara : 

H. Abidin
H. Bayu Priawan Joko Sutono, S.E., M.BM
H. Raja Sapta Ervian, SH., M.Hum.
H. Nurhin
H. Hafidz Taftazani
Umarsyah HS
N.M. Dipo Nusantara Pua Upa

Makruh Mencabut Uban


menurut ulama dari kalangan madzhab syafi’i—sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab— bahwa mencabut uban hukumnya adalah makruh. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw:
 لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jangan kalian mencabut uban karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Nasa’i)
Pandangan ini ditegaskan oleh al-Ghazali, al-Baghawi dan ulama lainnya. Bahkan Muhyiddin Syarf an-Nawawi menyatakan: “Jika dikatakan haram mencabut uban karena adanya larangan yang jelas dan sahih maka hal itu tidak mustahil”. Kemakruhan mencabut uban di sini tidak dibedakan antara mencabu uban jenggot dan uban kepala. Dengan kata lain, mencabut uban yang ada di jenggot dan uban yang ada di kepala hukumnya adalah sama-sama makruh.    
يَكْرَهُ نَتْفُ الشَّيْبِ لِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَدِيثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذُّي وَالنَّسَائِيُّ وَغَيْرُهُمْ بِأَسَانِيدَ حَسَنَةٍ قَالَ التِّرْمِذِيُّ حَدِيثٌ حَسَنٌ هَكَذَا. قَالَ أَصْحَابُنَا يَكْرَهُ صَرَّحَ بِهِ الْغَزَالِيُّ كَمَا سَبَقَ وَالْبَغَوِيُّ وَآخَرُونَ. وَلَوْ قِيلَ يَحْرُمُ لِلنَّهْيِ الصَّرِيحِ الصَّحِيحِ لَمْ يَبْعُدْ. وَلَا فَرْقَ بَيْنَ نَتْفِهِ مِنَ الْلِحْيَةِ وَالرَّأْسِ
“Makruh mencabut uban karena didasarkan kepaa hadits riwayat ‘Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi saw beliau bersabda: ‘Jangan kalian mencabut uban karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat’. Ini adalalah hadist hasan yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud at-Tirmidzi, Nasai, dan lainnya dengan sanad hasan. At-Tirmidzi berkata: ‘Bahwa hadits ini adalah hadits hasan. Para ulama dari madzhab kami (madzhab syafi’i) berpendapat bahwa makruh mencabut uban. Pandangan ini ditegaskan oleh al-Ghazali sebagaimana keterangan yang terdahulu, al-Baghawi dan ulama lainnya. Seandainya dikatakan haram mencabut uban karena adanya larangan yang jelas maka mungkin saja. Dan tidak ada perbedaan hukum kemakruhanya antara mencabut uban jenggot dan kepala” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, juz, I, hlm. 293)
Namun ada pandangan lain yang dikemukakan oleh imam Abu Hanifah yang terdapat dalam kitabal-Khulashah yang dinukil dari kitab al-Muntaqa. Menurutnya, hukum mencabut uban tidaklah makruh kecuali jika bertujuan untuk berhias diri (tazayyun). Pandangan ini menurut ath-Thahawi sebaiknya tidak dipahami secara literalis. Beliau memberi catatan, bahwa pandangan imam Abu Hanifah tersebut seyogyanya dipahami ketika uban yang dicabut adalah sedikit, tetapi jika banyak maka hukumnya tetap makruh karena adanya hadits yang melarang untuk mencabut uban yang diriwayatkan Abu Dawud sebagaimana disebutkan di atas.   
وَفِي الْخُلَاصَةِ عَنِ الْمُنْتَقَى كَانَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُكْرِهُ نَتْفَ الشَّيْبِ إِلَّا عَلَى وَجْهِ التَّزَيُّنِ اه وَيَنْبَغِي حَمْلُهُ عَلَى الْقَلِيلِ أَمَّا الْكَثِيرُ فَيُكْرَهُ لِخَبَرِ أَبِي دَاوُدَ لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Di dalam kitab al-Khulashah yang dinukil dari kitab al-Muntaqa terdapat keterangan yang menyatakan bahwa imam Abu Hanifah tidak memakruhkan mencabut uban kecuali dengan tujuan berhias diri. Dan seyogynya pandangan ini dipahami ketika uban yang dicabut adalah sedikit, namun jika banyak maka hukumnya tetap makruh berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud: ‘Jangan kalian mencabut uban karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat’” (Lihat, ath-Thahawi, Hasyiyah ‘ala Maraqi al-Falah Syarh Nur al-Idlah, Bulaq-Mathba’ah al-Amiriyah al-Kubra, 1318 H, h. 342).

Forensik FK Unsoed 2024