Senin, 30 November 2015

Bolehkah Poligami?


Hasil "Bahtsul Masail" di Pondok Pesantren Al Falah, Ploso, Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang diikuti para santri dari sejumlah pesantren di Jawa dan Madura pada 19-20 Mei 2010 merekomendasikan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang didalamnya mengatur sanksi pidana bagi pelaku nikah siri dan poligami tak wajib dipatuhi.

Mengacu referensi yang bersumber dari Al-Quran, hadis, dan sejumlah kitab kuning karya ulama salaf, dia menjelaskan, agama tidak mengatur kewajiban mencatatkan pernikahan kepada pemerintah.

"Para peserta Bahtsul Masail bersepakat bahwa bagi seorang pria dan wanita yang usianya sudah mencukupi, wajib menyegerakan nikah untuk menghindari perbuatan dosa. Mengingat sekarang ini banyak orang tidak mampu mengeluarkan biaya nikah, apalagi mereka yang tinggal di perdesaan, maka nikah siri menjadi jalan keluar," katanya seraya menyatakan agama membolehkan  pria berpoligami.

"Agama juga tidak mengatur kewajiban bersikap adil dalam hal kasih sayang karena tidak bisa diukur dengan takaran tertentu. Berbeda dengan nafkah lahir, memang mutlak diperlukan bagi orang yang berpoligami," katanya.

Oleh sebab itu, dia menganggap, draft sanksi dalam RUU itu tentang hukuman selama enam bulan hingga tiga tahun maupun denda Rp6-12 juta sebagaimana ada dalam Pasal 142 Ayat 3, maka itu akan sia-sia selama pemerintah tidak mengubah sistem pencatatan nikah.

"Seharusnya yang dilakukan pemerintah saat ini adalah mempermudah `itsbat` (pencatatan) nikah dan menghilangkan pasal wajib mendapatkan izin tertulis dari istri pertama bagi seorang pria yang hendak berpoligami," katanya.

Masalah nikah siri, tambah dia, tidak hanya berasal dari niat seorang pria, melainkan juga dari seorang perempuan karena perbandingan populasi pria dan wanita.

Mahsus merasa khawatir pemberlakuan undang-undang tersebut justru menjadi bumerang bagi pemerintah karena akan terjadi pelanggaran secara massal.

Bahstul Masail di Pondok Pesantren Al Falah itu diikuti sekitar 200 santri dari 140 lembaga pondok pesantren yang tersebar di Pulau Jawa dan Pulau Madura.

Syarat Poligami:
Syaikh Mustafa Al-Adawiy, Beliau menyebutkan bahwa hukum poligami adalah sunnah. Dalam kitabnya ahkamun nikah waz zafaf, beliau mempersyaratkan 4 hal:

1- Seorang yang mampu berbuat adil

Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil di antara para istrinya. Tidak boleh ia condong kepada salah satu istrinya. Hal ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa-i, At-Tirmidzi)
Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas. Karena boleh jadi salah satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam di rumahnya, padahal malam itu adalah jatah bermalam di tempat istri yang lain. Maka ia harus tegas menolak rayuan salah satu istrinya untuk tetap bermalam di rumahnya.
Jadi, jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka cukup satu istri saja. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…kemudian jika kamu khawatir tidak mampu berbuat adil, maka nikahilah satu orang saja…” (QS. An-Nisa: 3)

2- Aman dari lalai beribadah kepada Allah

Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam melakukan poligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. At-Taghabun: 14)

3- Mampu menjaga para istrinya

Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika seseorang berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam keburukan dan kerusakan.
Misalnya seorang yang memiliki tiga orang istri, namun ia hanya mampu memenuhi kebutuhan biologis untuk dua orang istrinya saja. Sehingga ia menelantarkan istrinya yang lain. Dan hal ini adalah sebuah kezhaliman terhadap hak istri. Dampak yang paling parah terjadi, istrinya akan mencari kepuasan kepada selain suaminya, alias berzina. Wal iyyadzubillah!
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang memiliki kemapuan untuk menikah, maka menikahlah…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4- Mampu memberi nafkah lahir

Hal ini sangat jelas, karena seorang yang berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir para istrinya. Bagaimana ia ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup? Orang semacam ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 33)
Demikian tulisan singkat tentang poligami. Poligami adalah syariat mulia yang bisa bernilai ibadah. Namun untuk melaksanakan syariat tersebut membutuhkan ilmu, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Jika anda merasa tidak mampu memenuhi 4 syarat di atas, maka jangan coba-coba untuk berpoligami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Forensik FK Unsoed 2024