Minggu, 27 Desember 2015

kebolehan menerima hadiah dari non-muslim


Imam Bukhari pakar hadits terkemuka dan hadits riwayatnya diakui paling shahih di antara riwayat-riwayat ahli hadits yang lainya, dalam kitab Shahih-nya menulis bab khusus mengenaiqabul al-hadiyah min al-musyrikink (kebolehan menerima hadiah dari non muslim).

Dalam bab ini Imam Bukhari menyuguhkan beberapa hadits yang menunjukkan kebolehan menerima hadiah dari non-muslim. Di antaranya adalah:

وَقَالَ سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ إِنَّ أُكَيْدِرَ دُومَةَ أَهْدَى إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ --رواه البخاري
“Said berkata, dari Qatadah dari Anas ra, sesungguhnya Ukaidira Dumah pernah memberikan hadiah kepada Nabi saw”. (HR. Bukhari).

Hadits lain yang juga bisa dijadikan dasar hukum kebolehan menerima hadiah dari orang non-muslim adalah hadits riwayat at-Tirmidzi yang mengisahkan bahwa Salman al-Farisi pernah memberikan hadiah kepada Rasulullah saw berupa ruthab (kurma basah). Pada saat Salman al-Farisi memberikan hadiah tersebut, ia belum masuk Islam. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Zainuddin al-‘Iraqi:
وَفِيهِ قَبُولُ هَدِيَّةِ الْكَافِرِ فَإِنَّ سَلْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ أَسْلَمَ إذْ ذَاكَ وَإِنَّمَا أَسْلَمَ بَعْدَ اسْتِيعَابِ الْعَلَامَاتِ الثَّلَاثِ الَّتِي كَانَ عَلِمَهَا مِنْ عَلَامَاتِ النُّبُوَّةِ وَهِيَ امْتِنَاعُهُ مِنْ الصَّدَقَةِ ، وَأَكْلُهُ لِلْهَدِيَّةِ وَخَاتَمُ النُّبُوَّةِ وَإِنَّمَا رَأَى خَاتَمَ النُّبُوَّةِ بَعْدَ قَبُولِ 
“Di dalam hadits tersebut mengandung pengertian kebolehan menerima hadiah dari orang kafir. Sebab, Salman al-Farisi ketika memberikan hadiah kepada Rasulullah saw belum masuk Islam. Ia masuk Islam setelah mengentahui tiga tanda kenabian yaitu penolakan Rasulullah saw terhadap shadaqah (zakat), memakan hadiah, dan khatam an-nubuwwah. Hanya saja Salman al-Farisi ra melihat khatam an-nubuwwah setelah Rasulullah saw menerima hadiahnya”. (Zainuddin al-‘Iraqi,Tharh at-Tatsrib fi Syrah at-Taqrib, Bairut-Mu`assah at-Tarikh al-‘Arabi, tt, juz, 4, h. 40).

Senin, 30 November 2015

Bolehkah Poligami?


Hasil "Bahtsul Masail" di Pondok Pesantren Al Falah, Ploso, Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang diikuti para santri dari sejumlah pesantren di Jawa dan Madura pada 19-20 Mei 2010 merekomendasikan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang didalamnya mengatur sanksi pidana bagi pelaku nikah siri dan poligami tak wajib dipatuhi.

Mengacu referensi yang bersumber dari Al-Quran, hadis, dan sejumlah kitab kuning karya ulama salaf, dia menjelaskan, agama tidak mengatur kewajiban mencatatkan pernikahan kepada pemerintah.

"Para peserta Bahtsul Masail bersepakat bahwa bagi seorang pria dan wanita yang usianya sudah mencukupi, wajib menyegerakan nikah untuk menghindari perbuatan dosa. Mengingat sekarang ini banyak orang tidak mampu mengeluarkan biaya nikah, apalagi mereka yang tinggal di perdesaan, maka nikah siri menjadi jalan keluar," katanya seraya menyatakan agama membolehkan  pria berpoligami.

"Agama juga tidak mengatur kewajiban bersikap adil dalam hal kasih sayang karena tidak bisa diukur dengan takaran tertentu. Berbeda dengan nafkah lahir, memang mutlak diperlukan bagi orang yang berpoligami," katanya.

Oleh sebab itu, dia menganggap, draft sanksi dalam RUU itu tentang hukuman selama enam bulan hingga tiga tahun maupun denda Rp6-12 juta sebagaimana ada dalam Pasal 142 Ayat 3, maka itu akan sia-sia selama pemerintah tidak mengubah sistem pencatatan nikah.

"Seharusnya yang dilakukan pemerintah saat ini adalah mempermudah `itsbat` (pencatatan) nikah dan menghilangkan pasal wajib mendapatkan izin tertulis dari istri pertama bagi seorang pria yang hendak berpoligami," katanya.

Masalah nikah siri, tambah dia, tidak hanya berasal dari niat seorang pria, melainkan juga dari seorang perempuan karena perbandingan populasi pria dan wanita.

Mahsus merasa khawatir pemberlakuan undang-undang tersebut justru menjadi bumerang bagi pemerintah karena akan terjadi pelanggaran secara massal.

Bahstul Masail di Pondok Pesantren Al Falah itu diikuti sekitar 200 santri dari 140 lembaga pondok pesantren yang tersebar di Pulau Jawa dan Pulau Madura.

Syarat Poligami:
Syaikh Mustafa Al-Adawiy, Beliau menyebutkan bahwa hukum poligami adalah sunnah. Dalam kitabnya ahkamun nikah waz zafaf, beliau mempersyaratkan 4 hal:

1- Seorang yang mampu berbuat adil

Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil di antara para istrinya. Tidak boleh ia condong kepada salah satu istrinya. Hal ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa-i, At-Tirmidzi)
Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas. Karena boleh jadi salah satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam di rumahnya, padahal malam itu adalah jatah bermalam di tempat istri yang lain. Maka ia harus tegas menolak rayuan salah satu istrinya untuk tetap bermalam di rumahnya.
Jadi, jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka cukup satu istri saja. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…kemudian jika kamu khawatir tidak mampu berbuat adil, maka nikahilah satu orang saja…” (QS. An-Nisa: 3)

2- Aman dari lalai beribadah kepada Allah

Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam melakukan poligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. At-Taghabun: 14)

3- Mampu menjaga para istrinya

Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika seseorang berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam keburukan dan kerusakan.
Misalnya seorang yang memiliki tiga orang istri, namun ia hanya mampu memenuhi kebutuhan biologis untuk dua orang istrinya saja. Sehingga ia menelantarkan istrinya yang lain. Dan hal ini adalah sebuah kezhaliman terhadap hak istri. Dampak yang paling parah terjadi, istrinya akan mencari kepuasan kepada selain suaminya, alias berzina. Wal iyyadzubillah!
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang memiliki kemapuan untuk menikah, maka menikahlah…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4- Mampu memberi nafkah lahir

Hal ini sangat jelas, karena seorang yang berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir para istrinya. Bagaimana ia ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup? Orang semacam ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 33)
Demikian tulisan singkat tentang poligami. Poligami adalah syariat mulia yang bisa bernilai ibadah. Namun untuk melaksanakan syariat tersebut membutuhkan ilmu, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Jika anda merasa tidak mampu memenuhi 4 syarat di atas, maka jangan coba-coba untuk berpoligami.

Jumat, 06 November 2015

Pakai Kopyah, Sorban, Rida' itu sunnah hukumnya.


Memakai sorban adalah sunnah dan ciri khas kaum muslimin, baik dalam sholat maupun di luar sholat, sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits. Namun, tak ada satu hadits pun yang menjelaskan keutamaan tertentu memakai sorban saat sholat, kecuali hadits berikut:

"Sholat dua raka’at dengan memakai sorban lebih baik dibandingkan sholat 70 raka’at, tanpa sorban". [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus sebagaimana yang disebutkan oleh As-Suyuthiy dalam Al-Jami' Ash-Shoghir]

Sholat bukanlah permainan, tapi ia adalah tanda ketundukan, keseriusan, ketawadhuan, dan kerendahan diri di hadapan Allah -Azza wa Jalla-. Seyogyanya seorang hamba saat ia menghadap, ia mengenakan pakaian yang layak digunakan; jangan asal-asalan dalam melaksanakan sholat !! Pilihlah pakaian yang layak, sebab sebagian orang ada yang tidak memperhatikan pakaian dan kondisi dirinya, seperti ia masuk ke dalam sholat, tanpa mengenakan penutup kepala, semisal surban, songkok, dan lainnya. Seakan-akan ia adalah seorang pekerja kuli yang mengenakan pakaian seadanya, padahal ia menghadap Allah Robbul Alamin.....Allah -Ta’ala- berfirman:

"Hai anak Adam, pakailah perhiasan kalian di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al-A’raaf: 31).

Al-Imam Isma’il bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, "Berdasarkan ayat ini dan hadits yang semakna dengannya dari Sunnah, maka dianjurkan berhias ketika hendak sholat, terlebih lagi di hari Jum’at, hari ied, dan juga (dianjurkan) menggunakan minyak wangi, karena ia termasuk perhiasan, serta (menggunakan) siwak, karena ia kesempurnaan hal itu. Diantara pakaian yang paling utama adalah pakaian putih". [dalam Tafsir Ibnu Katsir (2/281)]

Diantara perhiasan seorang mukmin adalah penutup kepala, seperti songkok, dan imamah (Sorban). Kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan para sahabatnya, baik dalam sholat, maupun di luar sholat, mereka senantiasa mengenakan imamah Sorban), burnus (penutup kepala yang bersambung dengan pakaian), atau songkok. Adapun kebiasaan menelanjangi kepala, tanpa songkok atau surban, maka ini adalah kebiasaan orang di luar Islam.

Amr bin Huroits -radhiyallahu ‘anhu- berkata, أَ

"Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam". [HR. Muslim (1359), Abu Dawud (4077), Ibnu Majah (1104 & 3584)]
Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,

"Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150) , Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (1566)]
Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata,

"Aku lihat pada Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)]

Jadi, disunnahkan bagi setiap orang yang mau melaksanakan shalat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling sempurna. Di antara kesempurnaan busana shalat adalah dengan memakai imamah (sorban), songkok, atau lainnya yang biasa dikenakan di kepala ketika beribadah, kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita, bukan untuk kaum pria. Namun tentunya jangan dijadikan kebiasaan buruk seorang masuk ke dalam sholat ataupun di luar sholat tanpa mengenakan sorban atau songkok.

Seorang yang tidak memakai penutup kepala -tanpa udzur-, maka makruh hukumnya. Terlebih lagi ketika melakukan shalat fardhu, dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya secara berjamaah. [Dalam As-Sunan wal Mubtadaat (hal. 69) karya Asy-Syuqoiriy].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, "Menurut hematku, sesungguhnya shalat dengan tidak memakai tutup kepala hukumnya adalah makruh. Karena merupakan sesuatu yang sangat disunnahkan jika seorang muslim melakukan shalat dengan memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits: "Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." (Permulaan hadits di atas adalah:

"Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." [HR Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma'aani Al-Atsar (1/221), Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi As-Sunan Al-Kubra (2/236) juga disebutkan dalamAl-Majma' Az-Zawa'id (2/51). dan As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1369]

Syaikh Al-Albaniy berkata lagi, "Tidak memakai tutup kepala bukan kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama , baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengerjakan kebiasaan buruk ini ; namun sayangnya malah diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengenyampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus sangat halus yang tidak pantas untuk merusak tradisi umat islam dan juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup kepala.

Adapun argumentasi yang membolehkan membiarkan kepala tanpa tutup seperti yang dikemukakan oleh sebagian orang dari Jama’ah Anshorus Sunnah di Mesir adalah dengan mengkiaskannya kepada busana orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini adalah usaha kias terburuk yang mereka lakukan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syi’ar dalam agama dan termasuk dalam manasik, yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya.
Seandainya kias yang mereka lakukan itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang mengatakan tentang kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji. [dalam Tamamul Minnah fit Ta'liq 'ala Fiqhis Sunnah (hal. 164-165)].

Tidak pernah disebutkan dalam sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak memakai tutup kepala ketika shalat kecuali hanya ketika ihram. Barangsiapa yang menyangka beliau pernah tidak memakai imamah (sorban) ketika shalat -selain pada saat melakukan ihram-, maka dia harus bisa menunjukkan dalilnya . [dalam Ad-Dinul Khalish (3/214) dan Al-Ajwibah An-Nafi'ah an Al-Masa'il Al-Waqi'ah (hal.110)]

Yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa shalat tanpa mengenakan tutup kepala hukumnya adalah makruh. Sholat tidak batal sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baghawi dan mayoritas ulama lain. Namun jangan disangka kalau hukum sekedar makruh, oh boleh dengan bebas tidak pakai tutup kepala, tidak demikian !! Karena ini bukan kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat. [Lihat Al-Majmu’ (2/51).

Saudarku yang kumuliakan.
Sorban (Imamah) atau penutup kepala adalah sunnah Rasulullah SAW, ... Rasulullah SAW bersabda : Perbedaan antara kita dengan musyrikin adalah Imamah diatas kopyah / peci (dalam Mustadrak ala shahihain hadits no.5903).

maksudnya bahwa muslimin mempunyai ciri khas yg tak dimiliki orang2 musyrikin, yaitu sorban yg dilipatkan pada peci. maka jelaslah bahwa Rasulullah SAW sangat menginginkan ummatnya memakai ini.

bila seseorang bertanya mengapa anda menggunakan sorban, katakan padanya karena sunnah, dan sunnah sudah mulai asing di hadapan muslimin sendiri, maka wajib kita mengenalkannya pada masyarakat,

jangan tertipu dengan ucapan kamu belum pantas pakai sorban!, ini ucapan orang yg menentang sunnah, orang yg belum pantas pakai sorban hanyalah orang non muslim, dan semua muslim sudah pantas pakai sorban, bila belum mau maka tak apa.

Selasa, 03 November 2015

Pengurus PBNU Periode 2015-2020


MUSTASYAR

K.H. Maemun Zubair
Dr. K.H. Ahmad Mustofa Bisri
K.H. Nawawi Abdul Jalil
K.H. Abdul Muchit Muzadi
Prof. Dr. K.H. M. Tholhah Hasan
K.H. Dimyati Rois
K.H. Makhtum Hannan
K.H. Muhtadi Dimyathi
AGH Sanusi Baco
TGH Turmudzi Badruddin (NTB)
K.H. Zaenuddin Djazuli
K.H. Abdurrahman Musthafa (NTT)
K.H. M. Anwar Manshur
K.H. Habib Luthfi bin Yahya
K.H. Sya’roni Ahmadi
K.H. Ahmad Syatibi
K.H. Syukri Unus
Dr. H. M. Jusuf Kalla
Prof. Dr. Chotibul Umam
Prof. Dr. Tengku H. Muslim Ibrahim
K.H. Hasbullah Badawi
K.H. Hasyim Wahid
K.H. Thohir Syarqawi Pinrang
K.H. Hamdan Kholid
K.H. Saifuddin Amsir
K.H. Zubair Muntashor
K.H. Ahmad Basyir
K.H. Ahmad Shodiq
K.H. Mahfud Ridwan
Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, MA
Prof. Dr. H. Machasin, MA
K.H. Adib Rofiuddin Izza
Habib Zein bin Smith
Dr. Ir. H. Awang Faroeq Ishaq

PENGURUS HARIAN SYURIYAH

Rais Aam  : Dr. K.H. Ma’ruf Amin
Wakil Rais Aam : K.H. Miftahul Akhyar
Rais : K.H. Mas Subadar
Rais : K.H. Nurul Huda Djazuli
Rais : K.H. Masdar Farid Mas’udi, M.A.
Rais : K.H. Ahmad Ishomuddin, M.Ag.
Rais : K.H. AR Ibnu Ubaidillah Syatori
Rais : K.H. Dimyati Romli
Rais : K.H. Abdullah Kafabihi Mahrus
Rais : K.H. Khalilurrahman
Rais : K.H. Syarifudin Abdul Ghani
Rais : K.H. Ali Akbar Marbun
Rais : K.H. Subhan Makmun
Rais : K.H. M. Mustofa Aqil Siroj
Rais : K.H. Cholil As’ad Samsul Arifin
Rais : K.H. Idris Hamid
Rais : K.H. Akhmad Said Asrori
Rais : K.H. Abdul Hakim
Rais : Dr. K.H. Zakki Mubarok
Rais : Prof. Dr. Maskuri Abdillah
Rais : K.H. Najib Abdul Qadir

Katib Aam : K.H. Yahya Cholil Staquf 
Katib  : K.H. Mujib Qulyubi
Katib  : Drs. K.H. Shalahuddin al-Ayyubi, M.Si
Katib  : Dr. K.H. Abdul Ghafur Maemun
Katib  : K.H. Zulfa Mustahafa
Katib  : Dr. H. Asrorun Niam Shaleh
Katib  : K.H. Acep Adang Ruchiyat
Katib  : K.H. Lukman Hakim Haris
Katib  : K.H. Taufiqurrahman Yasin
Katib  : K.H. Abdussalam Shohib
Katib  : K.H. Zamzami Amin
Katib  : Dr. H. Sa’dullah Affandy
A’WAN

K.H. Abun Bunyamin Ruchiat
Drs. K.H. Cholid Mawardi
K.H. TK Bagindo M Letter
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Lubis
K.H. Mukhtar Royani
K.H. Abdullah Syarwani, S.H.
K.H. Eep Nuruddin, M.Pdi.
Drs. K.H. Nuruddin Abdurrahman, S.H.
K.H. Ulinnuha Arwani
K.H. Abdul Aziz Khayr Afandi
H. Fauzi Nur
Dr. K.H. Hilmi Muhammadiyah, M.Si
K.H. Maulana Kamal Yusuf
K.H. Ahmad Bagja
KH. Muadz Thohir
K.H. Maimun Ali
H. Imam Mudzakir
H. Ahmad Ridlwan
Drs. H. Taher Hasan
Dra. Hj. Sinta Nuriyah, M.Hum
Dra. Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid
Ny. Hj. Nafisah Sahal Mahfudh
Prof. Dr. Hj. Chuzaimah T. Yanggo
Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, M.A.
Prof. Dr. Hj. Ibtisyaroh, S.H., M.M.
Dr. Hj. Sri Mulyati

PENGURUS HARIAN TANFIDZIYAH

Ketua Umum Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M.A.
Wakil Ketua Umum : Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.

Ketua :

Drs. H. Saifullah Yusuf
Dr. H. Marsudi Syuhud
Prof. Dr. M. Nuh, DEA
Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum Machfoedz, M.Sc.
Drs. K.H. Abbas Muin, Lc
Drs. H. M. Imam Aziz
Drs. H. Farid Wajdi, M.Pd
Dr. H. Muh. Salim Al-Jufri, M.Sos.I
K.H. Hasib Wahab
Dr. H. Hanief Saha Ghafur
K.H. Abdul Manan Ghani
K.H. Aizzuddin Abdurrahman, S.H.
H. Nusron Wahid, S.E., M.SE
Dr. H. Eman Suryaman
Robikin Emhas, SH, M.H
Ir. H. M. Iqbal Sullam
H. M. Sulton Fatoni, M.Si.

Sekretaris Jenderal  : Dr (HC). Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini

Wakil Sekretaris Jenderal :

H. Andi Najmi Fuaidi
dr. H. Syahrizal Syarif, MPH., Ph.D
Drs. H. Masduki Baidlowi
Drs. H. Abdul Mun’im DZ
Ishfah Abidal Aziz, SHI
H. Imam Pituduh, SH., MH.
Ir. Suwadi D. Pranoto
H. Ulil A. Hadrawi, M.Hum
H. Muhammad Said Aqil
Sultonul Huda, M.Si.
Dr. Aqil Irham
Heri Haryanto

Bendahara Umum : Dr.–Ing H. Bina Suhendra

Bendahara : 

H. Abidin
H. Bayu Priawan Joko Sutono, S.E., M.BM
H. Raja Sapta Ervian, SH., M.Hum.
H. Nurhin
H. Hafidz Taftazani
Umarsyah HS
N.M. Dipo Nusantara Pua Upa

Makruh Mencabut Uban


menurut ulama dari kalangan madzhab syafi’i—sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab— bahwa mencabut uban hukumnya adalah makruh. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw:
 لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jangan kalian mencabut uban karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Nasa’i)
Pandangan ini ditegaskan oleh al-Ghazali, al-Baghawi dan ulama lainnya. Bahkan Muhyiddin Syarf an-Nawawi menyatakan: “Jika dikatakan haram mencabut uban karena adanya larangan yang jelas dan sahih maka hal itu tidak mustahil”. Kemakruhan mencabut uban di sini tidak dibedakan antara mencabu uban jenggot dan uban kepala. Dengan kata lain, mencabut uban yang ada di jenggot dan uban yang ada di kepala hukumnya adalah sama-sama makruh.    
يَكْرَهُ نَتْفُ الشَّيْبِ لِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَدِيثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذُّي وَالنَّسَائِيُّ وَغَيْرُهُمْ بِأَسَانِيدَ حَسَنَةٍ قَالَ التِّرْمِذِيُّ حَدِيثٌ حَسَنٌ هَكَذَا. قَالَ أَصْحَابُنَا يَكْرَهُ صَرَّحَ بِهِ الْغَزَالِيُّ كَمَا سَبَقَ وَالْبَغَوِيُّ وَآخَرُونَ. وَلَوْ قِيلَ يَحْرُمُ لِلنَّهْيِ الصَّرِيحِ الصَّحِيحِ لَمْ يَبْعُدْ. وَلَا فَرْقَ بَيْنَ نَتْفِهِ مِنَ الْلِحْيَةِ وَالرَّأْسِ
“Makruh mencabut uban karena didasarkan kepaa hadits riwayat ‘Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi saw beliau bersabda: ‘Jangan kalian mencabut uban karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat’. Ini adalalah hadist hasan yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud at-Tirmidzi, Nasai, dan lainnya dengan sanad hasan. At-Tirmidzi berkata: ‘Bahwa hadits ini adalah hadits hasan. Para ulama dari madzhab kami (madzhab syafi’i) berpendapat bahwa makruh mencabut uban. Pandangan ini ditegaskan oleh al-Ghazali sebagaimana keterangan yang terdahulu, al-Baghawi dan ulama lainnya. Seandainya dikatakan haram mencabut uban karena adanya larangan yang jelas maka mungkin saja. Dan tidak ada perbedaan hukum kemakruhanya antara mencabut uban jenggot dan kepala” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, juz, I, hlm. 293)
Namun ada pandangan lain yang dikemukakan oleh imam Abu Hanifah yang terdapat dalam kitabal-Khulashah yang dinukil dari kitab al-Muntaqa. Menurutnya, hukum mencabut uban tidaklah makruh kecuali jika bertujuan untuk berhias diri (tazayyun). Pandangan ini menurut ath-Thahawi sebaiknya tidak dipahami secara literalis. Beliau memberi catatan, bahwa pandangan imam Abu Hanifah tersebut seyogyanya dipahami ketika uban yang dicabut adalah sedikit, tetapi jika banyak maka hukumnya tetap makruh karena adanya hadits yang melarang untuk mencabut uban yang diriwayatkan Abu Dawud sebagaimana disebutkan di atas.   
وَفِي الْخُلَاصَةِ عَنِ الْمُنْتَقَى كَانَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُكْرِهُ نَتْفَ الشَّيْبِ إِلَّا عَلَى وَجْهِ التَّزَيُّنِ اه وَيَنْبَغِي حَمْلُهُ عَلَى الْقَلِيلِ أَمَّا الْكَثِيرُ فَيُكْرَهُ لِخَبَرِ أَبِي دَاوُدَ لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Di dalam kitab al-Khulashah yang dinukil dari kitab al-Muntaqa terdapat keterangan yang menyatakan bahwa imam Abu Hanifah tidak memakruhkan mencabut uban kecuali dengan tujuan berhias diri. Dan seyogynya pandangan ini dipahami ketika uban yang dicabut adalah sedikit, namun jika banyak maka hukumnya tetap makruh berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud: ‘Jangan kalian mencabut uban karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat’” (Lihat, ath-Thahawi, Hasyiyah ‘ala Maraqi al-Falah Syarh Nur al-Idlah, Bulaq-Mathba’ah al-Amiriyah al-Kubra, 1318 H, h. 342).

Sabtu, 24 Oktober 2015

1 Hari Akherat=1000 Tahun di Dunia










Satu hari di akhirat sama dengan 1000 tahun di dunia.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ
Orang beriman yang miskin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya yaitu lebih dulu setengah hari yang sama dengan 500 tahun.” (HR. Ibnu Majah no. 4122 dan Tirmidzi no. 2353. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Diterangkan dalam Tuhfatul Ahwadzi sebagai berikut.
Satu hari di akhirat sama dengan seribu hari di dunia. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan,
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj: 47). Oleh karenanya, setengah hari di akhirat sama dengan 500 tahun di dunia.
Sangatlah keliru, kalau kita hidup hanya mementingkan kenikmatan dunia yang sifatnya sesaat.
Berfikirlah....................................!

Jumat, 23 Oktober 2015

Perihal Pengurusan Jenazah yang Sering Diperdebatkan


1. Terkait mayat itu sedekap atau tidak
السؤال: ذكر ابن عبد الهادي في كتابه: مغني ذوي الأفهام, أن الميت عند التكفين توضع يداه على صدره, وقد بحثت المسألة في أكثر من عشرين كتابًا من كتب أهل العلم, ولم أجد لها ذكرًا, ولا حتى إشارة, بل في كتب غير الحنابلة لم أجد شيئًا, لذا آمل تكرمكم بتوضيح صحة هذا القول, وهل عليه إثبات من الأدلة الشرعية المعتبرة, أو أنه اجتهاد من ابن عبد الهادي رحمه الله؟
الجواب: لا بأس بوضع يدي الميت عند تكفينه على صدره أو عن جانبيه, فالأمر في هذا واسع والحمد لله. وبالله التوفيق, وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
So’al:
“Ibnu Abdil Hadi menyebutkan dalam kitabnya “Mughni Dzawil Afhaam”, bahwasanya ketika mengkafani mayat, kedua tangannya diletakkan di atas dadanya, lalu aku mencari masalah ini dalam 20 kitab para ulama namun aku tidak menemukan penjelasan tentang hal ini, jangankan penjelasan isyarat pun tidak ada, bahkan di kitab2 selain madzhab hambali aku tidak menemukannya juga, oleh karena itu saya berharap penjelasan tentang benar atau tidaknya hal ini, dan apakah pendapat ini ada dalil shahih dari syari’at, atau hanya sebatas ijtihad dari Ibnu Abdil Hadi?,
Jawaban:
“Tidak mengapa meletakkan kedua tangan mayat di atas dadanya ketika dikafani dan tidak mengapa pula menjulurkan di sisi badannya, walhamdulillah Wabillahit taufiq.
Dalam kitab “Nihayatul Muhtaaj” dikatakan:
(ويوضع الميت فوقها) أي اللفائف برفق (مستلقيا) على قفاه ويجعل يداه على صدره يمناه على يسراه أو يرسلان في جنبه, أيما فعل منهما فحسن.
“(Mayat diletakkan di atasnya) yaitu di atas kain kafan (dalam keadaan terlentang) bertumpu pada tengkuknya, dan hendaknya kedua tangan mayat diletakkan di atas dadanya, yg kanan di atas yg kiri atau -boleh juga- kedua tangannya diirsalkan maksudnya dijulurkan- di sisi badannya,”. (Nihayatul Muhtaaj:2/264, cet.Daarul Fikr)
2. Membuka penutup muka mayit dan tali kafan dalilnya sebagai berikut:
a- Membuka kain kafan kepala, kemudian meletakkan pelipis kanan menempel pada bantalan atau langsung menyentuh tanah, kemudian memberikan bantalan di kepala merupakan perkara yg dianggap sunnah / mustahab oleh mayoritas Ulama’.
Telah berkata Saiyyida Umar Bin Khottob : “ apa bila kalian menguburkanku, ketika telah menurunkan aku di liang lahat, maka tempelkan pelipisku ke tanah”.
Imam Ad-dhohak juga telah berwasiat agar ketika dirinya di kubur, tali tali kafannya di lepaskan dan pipi kanannya di buka dengan membuka kain kafan yg menutupi pelipisnya. (Fiqhus Sunnah Juz 1 hal. 322 – syaih Sayyid Sabiq –cet.Darulfikr beirut)
واستحب العلماء ان يوسد راس الميت بلبنة او حجر او تراب , ويفضى بخده الايمن الى اللبنة ونحوها , بعد ان ينحى الكفن عن خده . قال عمر: اذا انزلتموني الى اللحد فافضوا بخدي الى التراب. واوصى الضحاك أن تحل عنه العقد ويبرز خده من الكفن. واستحبوا ان يوضع شيئ خلفه من لبن او تراب يسنده . ( كتاب فقه السنة جز 1-322 , دار الفكر ).
– Dan dianjurkan meletakkan bantalan di bawah kepala atau menyandarkan kepala pada sesuatu dari pada bata atau tanah. (Al-fiq ala Madzahib al-arba’ah – Syaikh Abdurrohman al-jaziri Juz -1 hal. 452 .cet. Darulfikr )
ويستحب ان يسند رأس الميت ورجلاه بسيئ من التراب او اللبن في قبره. (كتاب الفقه على مذاهب الاربعة جز -1 – 452 –دار الفكر ).
c – Dan merupakan perkara sunnah yaitu meletakkan pelipis kanan mayyit (setelah di bukanya kain kafan penutupnnya) di atas tanah. (Kitab Inarotud duja syarh nadzom safinatun najah – Syaikh Muhammad Ali bin Husain Al-makki al-maliki – hal. 158 – cet. Al hidayah surabaya)
( ووضع خده ) أي الايمان بعد ازالة الكفن عنه ( على التراب ندب ) اي يسن ان يفضى بخده الى الارض او الى نحو اللبنة . ( كتاب انارة الدجى شرح تنوير الحجا نظم سفينة النجا – رقم : 158 )
d – Dan termasuk perkara sunnah yaitu meletakkan pelipis kanan mayat ke tanah setelah di bukanya kain kafan penutup pelipis tersebut. (Kitab I’anatut Thalibin juz 2-hal 117 Cet.Thoha Putra Semarang)
( ويندب الافضاء بخده الايمن بعد تنحية الكفن عنه الى نجو تراب ورفع رأسه بنحو لبنة ) اي يندب الصاق خده الأيمن بالتراب وقوله بعد تنحية الكفن عنه اي بعد ازالة الكفن عن خده وقوله نحو تراب متعلق بافضاء ودخل تحت نحو الحجر واللبن . (كتاب اعانة الطالبين على حل الفاظ فتح المعين – جز 2 رقم 117 – السيد ابي بكر الدمياطي ).
e – Dan hendaknya menyandarkan wajah mayat dan kakinya dan punggungnya pada dinding lahat. Dan meletakkan bantalan seperti bata atau batu agar posisi mayat tidak berubah menjadi terlentang. Dan juga mengangkat kepala mayat dengan bantalan dari tanah sehingga pelipis mayat menempel pada bantalan tanah tadi, dan kain penutup pelipis dianjurkan untuk di buka. (Kitab Fathul Wahab syarh Minhajut Thullab juz-1 hal. 99)
( و ) ان ( يسند وجهه ) ورجلاه ( الى جداره ) اي القبر ( وظهره بنحو لبنة ) كحجر حتى لا ينكب ولا يستلقي ويرفع رأسه بنحو لبنة ويفضى بخده الأيمن اليه او الى التراب. – (كتاب فتح الوهاب شرح منهج الطـلاب – شيخ الامام أبي يحي زكريا الانصاري – جز 1 رقم : 99 مكتبة طه فوترا ) .
f – Melepas ikatan kafan mayit pada kepala mayit dan membuka kafan yg menutupi pipi mayit lalu menempelkannya ke tanah. Meletakkan bantalan dari tanah (biasanya berbentuk bulat) pada bagian belakang tubuh mayit seperti belakang kepala dan punggung, kemudian menekuk sedikit bagian tubuh mayit ke arah depan supaya tidak mudah untuk terbalik atau menjadi terlentang. (Kitab Hawasyai As- Syarwani Juz 3- hal.130 cet. Thoha Putra)
سئل الشيخ حمد بن عبد العزيز: عن كشف الكفن عن وجه الميت؟
Syaikh Hamd bin Abdul Aziz pernah mendapat pertanyaan mengenai hukum menyingkap kain kafan yg menutupi wajah mayit saat pemakaman?
فأجاب: لم يبلغني فيه شيء، ولكن الظاهر أن الأمر فيه واسع، إن كشف عنه فلا بأس وإن ترك فكذلك.
Jawaban beliau, “Tidak ada satu pun yg kuketahui tentang masalah ini. Kesimpulan yg tepat dalam masalah ini adalah adanya kelonggaran dalam masalah ini. Jika tali pocong dilepas sehingga wajah mayit tersingkap hukumnya tidak mengapa. Sebaliknya jika dibiarkan begitu saja hukumnya juga tidak mengapa”
3. Hukum membuka tali pocong.
Bolehlah kita amati keterangan Syekh Romli dalam Nihayatul Muhtaj.
فإذا وضع الميت في قبره نزع الشداد عنه تفاؤلا تحل الشدائد عنه، ولأنه يكره أن يكون معه في القبر شيء معقود وسواء في جميع ذلك الصغير والكبير
Bila mayit sudah diletakkan di kubur, maka dilepaslah segenap ikatan dari tubuhnya berharap nasib baik yg membebaskannya dari kesulitan di alam Barzakh. Karenanya, makruh hukumnya bila mana ada sesuatu yg mengikat bagian tubuh jenazah baik jenazah anak2 maupun jenazah dewasa.
Terus buat apa melepas ikat tali kafan jenazah anak kecil. Dia kan belum punya dosa? Syekh Ali Syibromalisi dalam Hasyiyah atas Nihayah menyebutkan, mencopot segala ikatan dari tubuh memang tidak mesti bertujuan melonggarkannya dari siksaan dosanya. Tetapi juga untuk perlu untuk menambah kesejahteraannya di kubur.
لايقال: العلة منتفية في حق الصغير لأنا نقول التفاؤل بزيادة الراحة له بعد فنزل ما انتفى عنه من عدم الراحة منزلة رفع الشدة
Kendati demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa illat melepas tali pengikat jenazah sudah tidak berlaku pada jenazah anak kecil mengingat ia belum punya dosa yg menyusahkannya di alam kubur. Pasalnya, kita bisa berkata bahwa “berharap nasib baik” dimaknai sebagai tambahan kebahagiaan bagi jenazah si kecil, satu tingkat di atas pembebasan dari kesulitan kubur. Karena, illat tiada kebahagiaan yg hilang dari jenazah itu, menempati pembebasannya dari kesulitan.
4. Dalil untuk memimpin do’a dan talqin setelah mayit dikuburkan
Nabi Muhammad sendiri menyuruh amalan doa talqin yg diriwayatkan oleh Imam At-Tobroni dalam Mu’jam Sighir dan Mu’jam Kabir daripada Abi Umamah Al-Bahili berkata :
[إذا أنا مت فاصنعوا بي كما أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نصنع بموتانا، أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحدكم على رأس قبره ثم ليقل: يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ولا يجيب، ثم يقول: يا فلان ابن فلانة فإنه يستوي قاعداً، ثم يقول: يا فلان ابن فلانة فإنه يقول أرشدنا يرحمك الله ولكن لا تشعرون، فليقل: اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً عبده ورسوله وأنك رضيت بالله رباً وبالإسلام ديناً وبمحمد نبياً وبالقرءان إماماً فإن منكراً ونكيراً يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه ويقول: انطلق بنا ما يقعدنا عند من لُقّن حجته، قال [أي أبو أمامة]: فقال رجل: يا رسول الله فإن لم يُعرف أمه، قال: ينسبه إلى أمه حواء، يا فلان ابن حواء” .
Yang bermaksud : “Apabila aku mati nanti, lakukan padaku sepertimana yg disuruh oleh Rasulullah agar dilakukan kepada mayat, Rasulullah telah memerintah kita dengan sabda baginda: “ Apabila matinya seorang daripada kalanganmu, maka tanahlah dan berdirilah seorang dikalangan kamu semua pada bahagian kepala dikuburnya kemudian katakan Wahai si fulan anak si fulanah, orang itu mendengarnya tetapi dia tidak akan menjawab, kemudian katakan Wahai fulan anak fulanah maka dia duduk, kemudian katakan Wahai fulan anak fulanah maka dia berkata semoga Allah merahmati kamu tetapi kamu semua tidak merasai (apa yang telah berlaku pada si mayat), maka hendaklah dikatakan : Ingatlah apa yg telah menyebabkan kamu dilahirkan kedunia iaitu syahadah tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad itu hamba-Nya dan rasul-Nya dan engkau telah meredhoi dengan allah sebagai tuhanmua dan islam itu agamamu dan Muhammad itu nabimu dan al-quran itu petunjukmu maka malaikat mungkar dan nakir akan mengambil tangannya lantas berkata Ayuh bersama kami bawakan kepada siapa yang telah ditalqinkan hujahnya”. Abu Umamah bertanya kepada Rasulullah Wahai Rasulullah! bagaimana sekiranya tidak diketahui nama ibunya? Rasulullah menjawab “Maka hendaklah dinasabkan kepada ibu manusia yaitu Hawa dengan mengatakan Wahai si fulan anak Hawa.” (HR. Imam Al-Hafiz Tobroni Dalam kitabnya Mu’jam Soghir Wal Kabir).
5. Sunnahnya mengangkat tangan dalam takbir ketika shalat jenazah.
Hujjah sunnahnya mengangkat tangan saat takbir sbb:
a – Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ عَلَى جَنَازَةٍ فَرَفَعَ يَدَيْهِ فِي أَوَّلِ تَكْبِيرَةٍ وَوَضَعَ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat jenazah, lalu beliau mengangkat kedua tangannya pada awal takbir, dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (HR. At-Tirmidzi: 1077,Ad-Daruquhni (2/75), Abu Umar Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid (20/79).
b – Hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ عَلَى الْجَنَازَةِ فِى أَوَّلِ تَكْبِيرَةٍ ثُمَّ لاَ يَعُود
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya pada shalat jenazah pada takbir pertama, kemudian beliau tidak mengulanginya.” (HR. Daruquthni: (2/75), Al-Uqaili dalam kitab Adh-Dhu’afa’ (1500)
6. Sunnah menutup mayat dengan keranda.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dianjurkan bagi mayat wanita dibuatkan keranda (peti). Keranda adalah tempat diletakkan wanita diatas ranjang. Dan ditutup dengan baju untuk menutupi dari pandangan orang2. Mereka berdalil dengan kisah jenazah Zainab Umul Mukminin radhiallahu anha, dikatakan: beliau adalah orang yg pertama kali dibawa dengan menggunakan keranda dari kalangan wanita muslimah.
Diriwayatkan oleh Baihaqi rahimahullah bahwa Fatimah binti Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam radhiallahu ’anha memberi wasiat agar dibuatkan (keranda) untuknya, dan mereka melaksanakannya. Jika (atsar) ini shahih, maka beliau (telah melaksanakan) beberapa tahun yg lalu sebelum Zainab. (Syarh Al-Muhadzab, 5/234)
Terdapat dalam kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi, 1/418, “Dianjurkan menutupi mayat wanita dengan meletakkan kubah diatas keranda. Karena hal itu lebih menutupi mayat.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Dianjurkan memakaikan diatas dipan wanita sesuatu dari kayu atau tikar. Seperti kubah, dibiarkan diatasnya ada baju agar lebih tertutup (Al-Mughni, 2/211)
Al-Bahuti rahimahullah mengatakan, “Dianjurkan menutupi keranda mayat dengan penutup.” (Daqoiq Ulin Nuha, 1/369).
7. Kebolehan mengganti dhamir hu (laki2) menjadi ha (wanita)
Memang tidak disyaratkan ta’yin mayyit yg hadir dicukupkan dgn ta’yin solat jenazah atau ta’yin fardhu/fardhu kifayah
قوله ويكبر ) الي ان قال وأركانها سبعة أحدها النية ويجب فيها القصد والتعيين كصلاة الجنازة ونية الفرضية وإن لم يعترض للكفاية وغيرها ولا يشترط تعيين الميت الحاضر
Adapun rukun dari solat jenazah ialah 7 salah satunya niat dan diwajibkan untuk menyegaja niat dan ta’yin niat contoh solat jenazah dan niat fardhu walaupun tidak menyinggung/mengucapkan kifayah atau selainnya dan tidak disyaratkan menta’yin mayyit yg hadir. [Hasiyah Albajuri juz 1 hal 249]
فإن عينه كزيد أو رجل ولم يشر اليه ,أخطأ في تعيينه كأن بان عمر أو إمرأة لم تصح صلاته فأن أشار اليه كأن ٌقال نويت الصلاة علي زيد هذا فبان عمرا صحت صلاته تغليبا للإشارة ويلغو التعيين
Seandainya seorang yg menyolati jenazah menta’yin contoh mayat bernama zaid atau mayat laki2 dan tidak men-isyarohi/memakai lafazh hadza maka demikian apabila salah pada ta’yinnya dlm contoh kenyataannya mayatnya umar atau kenyataannya mayatnya perempuan maka tidak sah solatnya berbeda seandainya orang yg solat jenazah tersebut mengisyarohi /melafzhkan hadza seperti niat nawaitu as sholata ‘ala zaidin hadza, maka apabila kenyaataannya salah maka sah sholatnya karena yg dimenangkan adalah isyarohnya dan tidak dianggap ta’yinnya. [Hasiyah Albajuri juz 1 hal 249].
ويؤنث الضمائر ويجوز تذكيرها بقصد الشخص
Dan dhomir dijadikan ta’nits (dalam mayat wanita) dan boleh juga memudzakkarkannya.
[Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah VI/97]
ويؤنث الضمائر في الأنثى ويجوز تذكيرها بإرادة الميت أو الشخص( قوله ويؤنث الضمائر في الأنثى ) كأن يقول اللهم اغفر لها وارحمها إلخ اللهم اجعلها فرطا لأبويها إلخ ( قوله ويجوز تذكيرها ) أي الضمائر في الأنثى ( وقوله بإرادة الميت أو الشخص ) يعني أنه إذا ذكر الضمير وكان الميت أنثى جاز ذلك بتأويلها بالشخص أو بالميت أي اللهم اغفر له أي هذا الميت أو الشخص أي أو الحاضر
Dan dhomir dijadikan ta’nits dalam mayat wanita dan boleh juga memudzakkarkannya dengan menghendaki kembalinya dhomir pada ‘mayat’ atau ‘orang’.
(Keterangan Dan dhomir dijadikan ta’nits dalam mayat wanita) seperti ucapan ALLAAHUMMA IGHFIR LAHAA WARHAMHAA dst..
(Keterangan dengan menghendaki kembalinya dhomir pada ‘mayat’ atau ‘orang’) artinya bila mayat wanita boleh juga memudzakkarkan dhomir dengan mentakwil kembalinya dhomir tersebut pada ‘mayat’ atau ‘orang’, dengan demikian doanya berbunyi ALLAAHUMMA IGHFIR LAHUU /Ya Allah ampunilah dia (artinya ‘mayat’ atau ‘orang’ atau janazah yg hadir). [I’aanah at-Thoolibiin II/128]
8. Dibolehkan adzan dan iqomah di liang lahat.
Adzan dan Iqamah untuk Mayit
Terdapat sebuah hadits yang menyatakan,
لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ يَسْمَعُ الْأَذَانَ مَا لَمْ يُطَيَّنْ قَبْرُهُ
“Mayit masih mendengar adzan selama kuburnya belum ditimbun dengan tanah.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no. 7587) Hadits ini sebagian ulama mengatakan lemah sanadnya.
Para ulama 4 imam madzhab memang sepakat bahwa tidak terdapat anjuran untuk melakukan adzan ketika memakamkan jenazah. Namun tidak juga ada larangan atasnya, yang terjadi hanyalah khilafiyah dalam melakukannya sebagai amalan bid’ah, sunnah atau mubah/jawaz saja. Berikut beberapa keterangan mereka
Pertama, Madzhab Hanafi
Ibnu Abidin mengatakan,
أنه لا يسن الاذان عند إدخال الميت في قبره كما هو المعتاد الآن، وقد صرح ابن حجر في فتاويه بأنه بدعة.
“Tidak dianjurkan untuk adzan ketika memasukkan mayit ke dalam kuburnya sebagaimana yang biasa dilakukan sekarang. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan dalam kumpulan fatwanya bahwa itu bid’ah.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2:255)
Barangkali yang dimaksud Ibnu Hajar dalam keterangan Ibnu Abidin di atas adalah Ibnu Hajar Al-Haitami. Disebutkan dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra,
مَا حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ .
Tanya: Apa hukum adzan dan iqamah ketika menutup liang lahad?
Jawaban Ibnu Hajar Al-Haitami: Itu bid’ah. Siapa yang meyakini itu disunahkan ketika menurunkan jenazah ke kubur, karena disamakan dengan anjuran adzan dan iqamah untuk bayi yang baru dilahirkan, menyamakan ujung akhir manusia sebagaimana ketika awal ia dilahirkan, adalah keyakinan yang salah. Apa yang bisa menyamakan dua hal ini. Semata-mata alasan, yang satu di awal dan yang satu di ujung, ini tidaklah menunjukkan adanya kesamaan. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, 3:166).
Kedua, Madzhab Maliki
Disebutkan dalam kitab Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, penulis mengutip keterangan di Fatawa Al-Ashbahi:
هَلْ وَرَدَ فِي الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ إدْخَالِ الْمَيِّتِ الْقَبْرَ خَبَرٌ ؟ فَالْجَوَابُ : لَا أَعْلَمُ فِيهِ وُرُودَ خَبَرٍ وَلَا أَثَرٍ إلَّا مَا يُحْكَى عَنْ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَلَعَلَّهُ مَقِيسٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ فَإِنَّ الْوِلَادَةَ أَوَّلُ الْخُرُوجِ إلَى الدُّنْيَا وَهَذَا أَوَّلُ الْخُرُوجِ مِنْهَا وَهَذَا فِيهِ ضَعْفٌ فَإِنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَثْبُتُ إلَّا تَوْقِيفًا .
Apakah terdapat khabar (hadits) dalam masalah adzan dan iqamat saat memasukkan mayit ke kubur? Jawab: Saya tidak mengetahui adanya hadis maupun atsar dalam hal ini kecuali apa yang diceritakan dari sebagian ulama belakangan. Barangkali dianalogikan dengan anjuran adzan dan iqamat di telinga bayi yang baru lahir. Karena kelahiran adalah awal keluar ke dunia, sementara ini (kematian) adalah awal keluar dari dunia, namun ada yang lemah dalam hal ini. Karena kasus semacam ini (adzan ketika memakamkan jenazah), tidak bisa dijadikan pegangan kecuali karena dalil shaih.” (Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, 3:319)
Ketiga, Madzhab Hambali
Ibnu Qudamah berkata,
أجمعت الأمة على أن الأذان والإقامة مشروع للصلوات الخمس ولا يشرعان لغير الصلوات الخمس لأن المقصود منه الإعلام بوقت المفروضة على الأعيان وهذا لا يوجد في غيرها .
“Umat sepakat bahwa adzan dan iqamat disyariatkan untuk shalat lima waktu dan keduanya tidak disyariatkan untuk selain shalat lima waktu, karena maksudnya adalah untuk pemberitahuan (masuknya) waktu shalat fardhu kepada orang-orang. Dan ini tidak terdapat pada selainnya.” (Asy-Syarh Al-Kabir, I:388)
Keempat, Madzhab Syafi’i
Imam Abu Bakr Ad-Dimyathi menegaskan,
واعلم أنه لا يسن الأذان عند دخول القبر، خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها .
“Ketahuilah, sesungguhnya tidak disunahkan adzan ketika (mayit) dimasukkan ke kubur. Tidak sebagaimana anggapan orang yang mengatakan demikian karena menyamakan keluarnya seseorang dari dunia (mati) dengan masuknya seseorang ke dunia (dilahirkan).” (I’anatuth Thalibin, 1:268)
Hal senada juga dinyatakan Al-Bajirami:
وَلَا يُنْدَبُ الْأَذَانُ عِنْدَ سَدِّهِ خِلَافًا لِبَعْضِهِمْ
“Tidak dianjurkan mengumandangkan adzan ketika menutup lahad, tidak sebagaimana pendapat sebagian mereka.” (Hasyiyah Al-Bajirami ‘ala Al-Manhaj, 5:38)
Dalam pandangan ulama Syafiiyah, adzan dan iqamah tidak hanya diperuntukkan sebagai penanda masuknya shalat, baik berdasarkan hadits maupun mengimplementasikan makna hadits. Oleh karenanya ada sebagian ulama yang memperbolehkan adzan saat pemakaman, dan sebagian yang lain tidak menganjurkannya. Dalam hal ini ahli fikih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata:
قَدْ يُسَنُّ الْأَذَانُ لِغَيْرِ الصَّلَاةِ كَمَا فِي آذَانِ الْمَوْلُودِ ، وَالْمَهْمُومِ ، وَالْمَصْرُوعِ ، وَالْغَضْبَانِ وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إنْسَانٍ ، أَوْ بَهِيمَةٍ وَعِنْدَ مُزْدَحَمِ الْجَيْشِ وَعِنْدَ الْحَرِيقِ قِيلَ وَعِنْدَ إنْزَالِ الْمَيِّتِ لِقَبْرِهِ قِيَاسًا عَلَى أَوَّلِ خُرُوجِهِ لِلدُّنْيَا لَكِنْ رَدَدْته فِي شَرْحِ الْعُبَابِ وَعِنْدَ تَغَوُّلِ الْغِيلَانِ أَيْ تَمَرُّدِ الْجِنِّ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ ، وَهُوَ ، وَالْإِقَامَةُ خَلْفَ الْمُسَافِرِ (تحفة المحتاج في شرح المنهاج – ج 5 / ص 51)
“Terkadang adzan disunahkan untuk selain stalat, seperti adzan di telinga anak yang lahir, orang yang kesusahan, orang yang pingsan, orang yang marah, orang yang buruk etikanya baik manusia maupun hewan, saat pasukan berperang, ketika kebakaran, dikatakan juga ketika menurunkan mayit ke kubur, dikiaskan terhadap saat pertama datang ke dunia. Namun saya membantahnya di dalam kitab Syarah al-Ubab. Juga disunahkan saat kerasukan jin, berdasarkan hadits sahih, begitu pula adzan dan iqamah saat melakukan perjalanan” (Tuhfat al-Muhtaj 5/51)
Di kitab lainnya Ibnu Hajar Al-Haitamii secara khusus menjelaskan masalah ini:
( وَسُئِلَ ) نَفَعَ اللَّهُ بِهِ بِمَا لَفْظُهُ مَا حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ . (الفتاوى الفقهية الكبرى – ج 3 / ص 166)
“Ibnu Hajar ditanya: Apa hukum adzan dan iqamat saat menutup pintu liang lahat? Ibnu Hajar menjawab: Ini adalah bid’ah. Barangsiapa yang mengira bahwa adzan tersebut sunah ketika turun ke kubur, dengan diqiyaskan pada anak yang lahir, dengan persamaan akhir hidup dengan permulaan hidup, maka tidak benar. Dan dari segi apa persamaan keduanya? Kalau hanya antara permulaan dan akhir hidup tidak dapat disamakan” (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra 3/166)
Tentu yang dimaksud bid’ah disini tentu bukan bid’ah yang sesat, sebab Ibnu Hajar ketika menyebut bid’ah pada umumnya menyebut dengan kalimat “al-Madzmumah”, atau “al-Munkarah” dan lainnya dalam kitab yang sama. Beliau hanya sekedar menyebut bid’ah karena di masa Rasulullah Saw memang tidak diamalkan.

Adzan Pertama Kali untuk Mayit di Kubur

Sejauh referensi yang saya ketahui tentang awal mula melakukan adzan saat pemakaman adalah di abad ke 11 hijriyah berdasarkan ijtihad seorang ahli hadis di Syam Syria, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh al-Muhibbi:
محمد بن محمد بن يوسف بن أحمد بن محمد الملقب شمس الدين الحموي الأصل الدمشقي المولد الميداني الشافعي عالم الشام ومحدثها وصدر علمائها الحافظ المتقن : وكانت وفته بالقولنج في وقت الضحى يوم الاثنين ثالث عشر ذي الحجة سنة ثلاث وثلاثين وألف وصلى عليه قبل صلاة العصر ودفن بمقبرة باب الصغير عند قبر والده ولما أنزل في قبره عمل المؤذنون ببدعته التي ابتدعها مدة سنوات بدمشق من افادته إياهم أن الأذان عند دفن الميت سنة وهو قول ضعيف ذهب إليه بعض المتأخرين ورده ابن حجر في العباب وغيره فأذنوا على قبره (خلاصة الأثر في أعيان القرن الحادي عشر – ج 3 / ص 32)
“Muhammad bin Muhammad bin Yusuf bin Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar Syamsuddin al-Hamawi, asalnya ad-Dimasyqi, kelahiran al-Midani, asy-Syafii, seorang yang alim di Syam, ahli hadis disana, pemuka ulama, al-hafidz yang kokoh. Beliau wafat di Qoulanj saat waktu Dhuha, hari Senin 13 Dzulhijjah 1033. Disalatkan sebelum Ashar dan dimakamkan di pemakaman ‘pintu kecil’ di dekat makam orang tuanya. Ketika janazahnya diturunkan ke kubur, para muadzin melakukan bid’ah yang mereka lakukan selama beberapa tahun di Damaskus, yang diampaikan oleh beliau (Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Yusuf) kepada mereka bahwa ‘adzan ketika pemakaman adalah sunah’. Ini adalah pendapat lemah yang dipilih oleh sebagian ulama generasi akhir. Pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar dalam kitab al-Ubab dan lainnya, maka mereka melakukan adzan di kuburnya” (Khulashat al-Atsar 3/32)
Khilaf Ulama Syafiiyah
Diantara kalangan madzhab Syafiiyah sendiri masalah ini merupakan masalah yang diperselisihkan, ada yang tidak menganjurkan (namun tidak melarang) dan ada pula yang menganjurkan, sebagaimana yang diamalkan oleh umat Islam di Indonesia:
• Syaikh asy-Syarwani:
ولا يندب الآذان عند سده خلافا لبعضهم برماوي اه (حواشي الشرواني – ج 3 / ص 171)
“Tidak disunahkan adzan saat menutup liang lahat, berbeda dengan sebagian ulama. Dikutip dari Syaikh Barmawi” (Hawasyai asy-Syarwani 3/171)
• Syaikh Sulaiman al-Jamal:
وَلَا يُنْدَبُ الْأَذَانُ عِنْدَ سَدِّهِ وِفَاقًا لِلَأْصْبَحِيِّ وَخِلَافًا لِبَعْضِهِمْ ا هـ . بِرْمَاوِيٌّ . (حاشية الجمل – ج 7 / ص 182)
“Tidak disunahkan adzan saat menutup liang lahat, sesuai dengan al-Ashbahi dan berbeda dengan sebagian ulama. Dikutip dari Syaikh Barmawi” (Hasyiah asy-Jamal 3/171)
• Syaikh Abu Bakar Syatha:
واعلم أنه لا يسن الاذان عند دخول القبر، خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها. قال ابن حجر: ورددته في شرح العباب، لكن إذا وافق إنزاله القبر أذان خفف عنه في السؤال. (إعانة الطالبين – ج 1 / ص 268)
“Ketahuilah bahwa tidak disunahkan adzan ketika masuk dalam kuburan, berbeda dengan ulama yang menganjurkannya, dengan dikiyaskan keluarnya dari dunia terhadap masuknya kea lam dunia (dilahirkan). Ibnu Hajar berkata: Tapi saya menolaknya dalam Syarah al-Ubab, namun jika menurunkan mayit ke kubur bertepatan dengan adzan, maka diringankan pertanyaan malaikat kepadanya” (Ianat ath-Thalibin 1/268)

Dari keterangan para ulama diatas terdapat perbedaan pendapat satu sama lain. Namun, perbedaannya bukan berarti LARANGAN untuk mengumandangkan adzan diluar waktu shalat. Artinya adzan bisa dilakukan pada waktu diluar waktu shalat. Wallahu a’lam bis-Shawab

Forensik FK Unsoed 2024